.::SELAMAT DATANG ::. "Blog ini untuk berbagi Ilmu dan Pengetahuan Tentang Dunia Teknik Informatika. Semoga bermanfaat "

2013-01-02

Apakah Dokumen Elektronik Dapat Menjadi Alat Bukti yang Sah?

ejak disahkan oleh rapat paripurna DPR-RI pada tanggal 25 Maret 2008 lalu, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mulai ramai diperbincangkan orang. Setelah pusing tujuh keliling membaca naskah UU ITE yang mulai digodog oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI sejak Maret 2003 ini, saya tertarik untuk menyoroti masalah keabsahan dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam proses peradilan.

Alat Bukti yang Sah

Menurut UU ITE, yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan pengertian informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Dalam UU ITE diatur bahwa informasi elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, alat-alat bukti yang sah terdiri dari bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Sedangkan menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, alat-alat bukti yang sah terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, alat bukti menurut hukum acara di atas yang dibuat dalam bentuk informasi elektronik/dokumen elektronik, dan informasi elektronik/dokumen elektronik itu sendiri, merupakan alat bukti yang sah menurut UU ITE.

Persyaratan Khusus

Tapi, tidak sembarang informasi elektronik/dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Menurut UU ITE, suatu informasi elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
  1. dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
  2. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
  3. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
  4. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
  5. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Dalam bayangan saya, persyaratan minimum di atas dapat menjadi bahan perdebatan hebat di pengadilan apabila salah satu pihak mengajukan informasi elektronik/dokumen elektronik sebagai alat bukti. Sebagai contoh, dapat saja muncul pertanyaan apakah suatu pihak telah melakukan upaya yang patut untuk memastikan bahwa suatu sistem elektronik telah dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik tersebut. Pihak yang mengajukan informasi elektronik tersebut harus dapat membuktikan bahwa telah dilakukan upaya yang patut untuk itu, meski ukuran ”upaya yang patut” itu sendiri belum tentu disepakati oleh semua pihak.

Disamping itu, ada beberapa jenis dokumen yang tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah apabila dibuat dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
  1. surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
  2. surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Dalam penjelasan UU ITE, hanya disebutkan bahwa yang surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis itu meliputi namun tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana dan administrasi negara. Dari penjelasan tersebut dapat muncul beberapa pertanyaan, yaitu apakah yang dimaksud dengan ”surat yang berharga”? Bagaimana dengan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara di pengadilan militer dan pengadilan agama?
UU ITE memang mengamanatkan adanya sejumlah peraturan pemerintah yang akan mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan yang ada dalam UU ITE tersebut. Mudah-mudahan saja beberapa peraturan pemerintah yang akan terbit tersebut benar-benar dapat membuat lebih jelas ketentuan dalam UU ITE, sehingga UU ITE dapat lebih mudah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. 


Di sadur dari :
http://arijuliano.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar